Saturday, November 25, 2006

Hujan Emas di Negeri Orang, Hujan Batu di Negeri Sendiri?

Akhirnya setelah sekian lama pengen nulis "sesuatu" di blog pulih lagi (sesuatu maksudnya yang lumayan dipikirkan hehehe).

Sebenarnya udah lama Gw itu merasa iri dengan kehidupan masyarakat di Melbourne. Mungkin most likely seperti di negara maju lainnya, dimana kualitas hidup masyarakatnya, tingkat pendapatannya cukup tinggi.

Ada satu reality show yang dulu sering Gw ikut ikutin, judulnya "Honey We're Killing The kids!". Intinya, reality show ini mengisahkan tentang pola hidup yang salah (termasuk makan) dari satu keluarga dan akhirnya bisa mempercepat penuaan usia dari anak-anak yang mereka punya. Orang tua dari keluarga itu akan diperlihatkan simulasi dan prediksi akan meninggal umur berapa anak-anak mereka kelak dan seperti apa rupa mereka disaat akhir hidupnya. Sebagian besar tentu saja diperlihatkan seperti orang yang obesitas, berwajah 10-20 tahun lebih tua dari umur yang sebenarnya. Pastinya amazingly shocking buat kedua orang tuanya. Dan gak itu aja, bahkan ada prediksi penyakit apa aja yang akan di derita anak-anak itu pada usia tuanya. Tapi sebenarnya yang mau Gw ceritakan disini bukan tentang acaranya itu. Melainkan tentang yang tadi bikin Gw iri sama kehidupan masyarakat di sini. Gw lihat bagaimana keluarga supir taxi, buruh bangunan atau single parent yang jadi waitress di junk food stall, punya anak dua sampai tiga, bisa punya rumah yang full equipt, setiap anak dapat their own computer, tv, and hi fi di dalam kamarnya masing-masing. Belum lagi rumahnya sendiri yang bisa dibilang seperti rumah-rumah orang berada di Indonesia punya gazebo, ada beberapa kursi "lazy boy" di family roomnya,`dapurnya yang ada barnya etc etc. Dan keluarga-keluarga ini pun bisa afford buat belanja branded clothing, dan fine dining setiap weekend. Wah wah wah... bener-bener impress sama kualitas hidup orang sini.

Oh ya suatu ketika pas suami kerja buat city council field surveyor, pernah cerita dia diomelin sama salah satu penduduk. Pada intinya sih si bapak tua ini ngomel-ngomel karena trotoar di dekat rumahnya rusak berat dan udah lama dikomplain, gak ada perbaikan dari pemda setempat. Ehh taunya pas suami liat di tempat rusaknya ternyata trotoar itu cuma ada sompel dikit di bagian pinggirnya. *geleng-geleng*. Wahh belum pernah tinggal di Indonesia nih orang, pikir suami.

Anyway, karena pendapatan yang lumayan tinggi di sini even buat non skilled job, akhirnya temen-temen student di sini terutama yang sponsored gitu akhirnya banyak yang memanfaatkan kesempatan selain untuk belajar juga untuk bekerja dan saving untuk pulang nanti. Sampai-sampai ada anekdotal bahwa kalau Ausie sponsoring Indonesian student itu sekalian sponsoring work labour hehehe. Nah bayangkan aja student yang dibatasi boleh kerja 20 jam/week, misalkan kerja unskilled atau semiskilled gitu dengan rate 17$/hour, sebulan dia bisa mendapatkan 1360$ equals to Rp. 9.520.000,-. Siapa yang gak tergiur buat bawa pulang saving segini tiap bulannya? Apalagi kalau bawa spouse si istri/suaminya ini boleh kerja unlimited hours per harinya. Gak jarang akhirnya temen-temenpun pulang punya target2 dari datengin keluarga ke sini, beli rumah atau buat bisnis di tanah air. That's the fact.

Gue dan suami pun yang tadinya mau enjoy uang beasiswa aja akhirnya terpengaruh dengan lingkungan "sambil menyelam minum air" ini. "Kalau bisa cari uang dan belajar juga kenapa enggak?" kata suami. Lagi-lagi ketika salah satu temen kaget2 mendengar gaji Gw bekerja casual CUMA 1 kali seminggu selama 3 jam dalam sebulan nyama2in gajinya di indo sebulan. Lagi-lagi Gue juga miris yaa.. begitu pengelolaan SDM di Indonesia, level apresiasi karya SDMnya yang juga jauh berbeda. Bahkan dengan negara serumpun Malaysia pun dari level of income udah ketinggalan jauh. Kebayang apalagi yang supir taxi, atau tukang ojek gitu boro-boro mau pikir fine dining atau kenal brand seperti Guess, Esprit (yang gak tembakan loo). Mungkin buat makan, biaya kontrakan dan uang kesehatan pun mereka kudu ngutang.. (duhhh ini hujan batu beneran ya di negeri sendiri).

Gak jarang akhirnya dari student-student yang pernah merasakan hidup di sini ada yang berpikiran buat menjadi Permanent Resident di sini. Bekerja professionally di sini, raisng family.. intinya Go Globalize deh. Dan menurut Gw gak ada salahnya dengan itu. Tiap orang berhak menentukan kehidupannya. Dan lagi, mendingan makan kue kerjaan di negara lain dibanding menuh2in lapangan kerja di negara sendirikan? itu saja udah salah satu bentuk kecil dari penyediaan lapangan kerja di tanah air.. hehehe. Dan kalau bisa compete dengan SDM asing kenapa enggak?

Tapi tetap saja.. gak selamanya Hujan Emas di negara orang bikin semua orang betah tinggal di sini. Misalnya buat ibu-ibu muda yang experience melahirkan di sini pasti ada keselnya karena suami gak boleh nginep di RS, Masih sakit2 harus gendong2 bayi sendiri. Nursenya juga kalau dah masuk hari kedua gak mau nolongin lagi. Sampe rumah pun di sambut rumah yang berantakan, cucian yang numpuk, sampah yang numpuk semua harus dilakoni sendiri. Kekompakan sama pasangan jadi teruji. Harus bisa bagi2 tugas intinya. Lalu yang memantau perkembangan bayi ada bidan (mid wife) yang seminggu sekali dateng ke rumah, cek berat badan bayi, lalu cek cara menyusui ibunya. Kalau berat badan bayinya turun terus, hati2 bayinya diambil karena dianggap gak becus mengurus anak.. Kalau di indo kan enak juga.. bisa punya pembantu ;).
Truss.. ada lagi sihh.. Gw yang jelas kangen sama pijet dan salon murahnya...

Jadi siapa bilang hujan batu selamanya hujan batu? mau di sini or di sana it's up to you..

No comments: